Sudah Siap Menikah, Tapi Belum Direstui si Mamah? - Ceritanya, ada akhwat yang sudah siap nikah dan alhamdulillah sudah
ada yang yang mau dan kepengen melamar. Maka, lelaki ini memberanikan
diri datang kepada kedua calon mertuanya dengan apa adanya dirinya. Lelaki
ini anak pesantren, hafalan Al-Qur'an-nya lumayan, 3 juz dapetlah.
Anaknya juga sopan sama orangtua, senyumnya masnih, penampilannya rapi
walau bajunya dibeli di kaki lima Tanah Abang, dan yang paling penting
adalah lelaki ini sudah memahami kenapa dia harus menikah, dan dakwah
adalah jalan perjuangannya.
Tapi, namanya hidup, selalu berdampingan dengan kelebihan. Lelaki ini punya dua kelemahan besar sebagai seorang calon mantu. Pertama,
ijazahnya mentok S1 Universitas Bodong (yang mana itu pun telah
merupakan prestasi terbesar dalam hidupnya, mengingatkan dia sudah 7
tahun di kampus). Kedua, pekerjaannya nggak bergengsi sama sekali, yaitu teknisi bengkel yang gajinya sedikit di atas UMR Jakarta.
Singkat
cerita, bapak akhwat mengizinkan karena terpikat akan masa depan yang
ditawarkan oleh sang lelaki, karena bekal Al-Qur'an dan Sunnah yang
disandangnya. Tapi si Mamah? Dasar si Mamah, karena keseringan gaul sama kalangan jetset dan kebanyakan nonton sinetron masa kini yang gaya lelakinya metroseksual, naik turun mobil-mobil mewah, sontaklah si Mamah menolak.
Mamah ternyata sudah punya gacoan yang lain, sebut saja si Alfons, anak bapak lurah yang baru balik dari Aussie, lulusan suma kum laut
dari Universitas New South Wales. Wajahnya rapi, bajunya jali, lulusan
luar negeri, minumnya martini, perusahaannya punya papi, mobilnya
pribadi dan depositnya ngeriii ...
Akhwatnya
jelas galau, uring-uringanlah. Umur udah masuk 27, pas ada yang
ngelirik, saleh lagi, masa disia-siakan. Akhirnya dengan segenap tenaga
akhwat ini melobi mamahnya. Mamah tewas-tewasan (mati-matian)
nggak mau dan tetap bertahan pada pendapatnya. Kata Mamah, justru Mamah
mikirin kebaikan putrinya di masa depan, bahwa agama saja mana bisa
jamin sepiring nasi dan semangkuk berlian.
And the nagging goes on ... Berikut beberapa contoh cuplikan tentang si Mamah yang bersikukuh dengan pendapatnya.
- "Pokoknya kamu harus nurut sama Mamah! Mamah sudah jalani hidup lebih lama dari kamu! Kalau kamu bantah Mamah, itu kan durhaka dalam Islam, kamu mau durhaka?"
- "Mamah sudah bilang berapa kali?! Surga itu di telapak kaki Mamah. Mamah yang sudah mengurus kamu dari kecil. Awas kalau kamu berani nggak nurut sama Mamah! Ridha Allah terletak di ridha orangtua. Tau nggak?!"
- "Mamah kan udah bilang, agama itu nanti aja kalau udah tua. Kamu kira hafalan Al'Qur'an bisa kasih kamu harta? Dunia ini harus realistis, bukan hanya cerita-cerita romantis!"
- "Mamah nggak tau lagi harus bilang apa sama kamu, keras kepala, pemikiran sempit! Ini pasti gara-gara kamu ikutan ngaji-ngaji yang nggak bener itu, dakwah yang nggak bener itu!"
- "Lebih baik kamu sama si Alfons aja, masa depannya lebih bagus, bapaknya kaya ..."
- "Kalau kamu masih nekat juga nggak mau nurut sama Mamah, nanti Mamah stres, terus mati. Kamu mau arwah Mamah menggentayangi kamu? Kalau Mamah mati, nanti kamu dosa loh sama Mamah. Kamu tega?"
"Bertobatlah selagi sempat, Mah!" (hahaha ...)
Bersabarlah, mungkin yang terbaik bagimu adalah menunda beberapa saat lagi. After all,
waktu sering kali jadi satu-satunya hal yang kurang. Bersabarlah dan
buktikan kedewasaanmu padanya. Mungkin kita baisa jadi benar, namun Ibu
selalu punya hak hingga wafatnya, yaitu perkataan yang baik dari
anaknya. Ibu juga merupakan seorang perempuan untuk menolak atau
menerima pinangan yang datang tertuju untuk meminang anaknya, setidaknya
itu adalah tindakan yang memiliki dalil Islami.
"Bahwasanya Rasulullah SAW. berkata, 'Seorang janda tidak boleh dinikahkan hingga dimintai persetujuannya. Dan seorang gadis tidak boleh dinikahkan hingga dimintai izinnya.' Para sahabat bertanya, 'Wahai Rasulullah, bagaimana dengan izin itu?' Beliau menjawab, 'Diamnya.'" (HR Al-Bukahri dan Muslim)
Sampaikan kepada Mamah dengan baik-baik, dengan tenagn dan terkendali, bahwa seorang pasangan hidup didahulukan keimanannya kepada sang Pencipta manusia, buka muka, keturunan, harta, atau tahtanya.
Beritahukan juga kepada Mamah bahwa keutamaan seorang ibu adalah memilihkan buat anaknya, seorang lelaki yang dapat menjamin tempat kedudukannya di surga, bukan hanya bisa menjamin tempat di dunia.
Sampaikan pula bahwa ketika kita memilih seorang suami yang shaleh, itu adalah bentuk pengabdian terhadap orangtua. Karena persembahan terbaik dan pengabdian terakhir seorang anak kepada ibunya adalah dengan melanjutkan nama baik orangtua ketika mereka telah tiada dan kirimkan amal shaleh tiada tanding untuk meringankan urusan kedua orangtuanya.
Lisankan kepadanya: "Ibu, kami sayang kepadamu karena Allah, maka izinkan kami menaatimu dengan menaatkan diri kami secara penuh kepada sang Pencipta kita."
Masih juga tidak disetujui? Ya, ambil sikap. Bila lelaki, engkau bisa saja menikah tanpa wali, selama meyakinkan wali wanita. Maka, ambil sikap yang engkau yakini itu merupakan syar'i dan berdalil. Tetaplah menikah, dan tetap perhatikan ayah dan ibumu dengan penuh kasih sayang.
Bila wanita? Tentu saja nekat. Lobi ayah dan ibunya, kerahkan segala cara agar mereka memahami bahwa uang, jabatan, dan status sosial bukan jaminan pernikahan, bukan jaminan kebahagiaan sedikit pun. Mungkin lagi-lagi waktulah yang diperlukan sampai mereka mau menerima kebenaran dan dakwah darimu.
"Bahwasanya Rasulullah SAW. berkata, 'Seorang janda tidak boleh dinikahkan hingga dimintai persetujuannya. Dan seorang gadis tidak boleh dinikahkan hingga dimintai izinnya.' Para sahabat bertanya, 'Wahai Rasulullah, bagaimana dengan izin itu?' Beliau menjawab, 'Diamnya.'" (HR Al-Bukahri dan Muslim)
Sampaikan kepada Mamah dengan baik-baik, dengan tenagn dan terkendali, bahwa seorang pasangan hidup didahulukan keimanannya kepada sang Pencipta manusia, buka muka, keturunan, harta, atau tahtanya.
Beritahukan juga kepada Mamah bahwa keutamaan seorang ibu adalah memilihkan buat anaknya, seorang lelaki yang dapat menjamin tempat kedudukannya di surga, bukan hanya bisa menjamin tempat di dunia.
Sampaikan pula bahwa ketika kita memilih seorang suami yang shaleh, itu adalah bentuk pengabdian terhadap orangtua. Karena persembahan terbaik dan pengabdian terakhir seorang anak kepada ibunya adalah dengan melanjutkan nama baik orangtua ketika mereka telah tiada dan kirimkan amal shaleh tiada tanding untuk meringankan urusan kedua orangtuanya.
Lisankan kepadanya: "Ibu, kami sayang kepadamu karena Allah, maka izinkan kami menaatimu dengan menaatkan diri kami secara penuh kepada sang Pencipta kita."
Masih juga tidak disetujui? Ya, ambil sikap. Bila lelaki, engkau bisa saja menikah tanpa wali, selama meyakinkan wali wanita. Maka, ambil sikap yang engkau yakini itu merupakan syar'i dan berdalil. Tetaplah menikah, dan tetap perhatikan ayah dan ibumu dengan penuh kasih sayang.
Bila wanita? Tentu saja nekat. Lobi ayah dan ibunya, kerahkan segala cara agar mereka memahami bahwa uang, jabatan, dan status sosial bukan jaminan pernikahan, bukan jaminan kebahagiaan sedikit pun. Mungkin lagi-lagi waktulah yang diperlukan sampai mereka mau menerima kebenaran dan dakwah darimu.
0 komentar:
Post a Comment
Bismillaah ..
Anda boleh meninggalkan komentar di blog ini dengan syarat :
1. Tidak mengandung SARA
2. Komentar SPAM dan JUNK akan dihapus
3. Tidak diperbolehkan menyertakan link aktif
4. Berkomentar dengan format (Name/URL)
Terima Kasih.