Perintah Allah untuk melaksanakan ibadah shalat bagi umat manusia merupakan rukun yang kedua di dalam urutan rukun Islam sesudah syahadat sebagai rukun yang pertama dalam urutan rukun Islam. Adanya perintah untuk melaksanakan ibadah shalat ini diawali oleh peristiwa Israa' dan Mi'raaj yang jatuh pada tanggal 27 Rajab, tahun ke-11 setelah Muhammad diangkat menjadi Nabi. Perjalanan Rasulullah di malam hari (Israa') dari Masjidil Haraam ke Masjidil Aqsha, dan selanjutnya naik ke Sidratul Muntaha (Mi'raaj), merupakan sebuah peristiwa besar yang menjadi "momentum spiritual" bagi kehidupan umat manusia.
Pada peristiwa itulah beliau menerima perintah dari Allah untuk mendirikan ibadah shalat yang harus dilakukan 5 (lima) kali dalam sehari dan semalam, yang mana merupakan suatu bentuk peribadatan yang sarat dengan makna simbolik terkait dengan kehidupan manusia dan juga seluruh ciptaan-Nya yang terdapat di alam jagad raya ini.
Sahnya ibadah shalat yang bersifat wajib, pertama kali ditandai dengan telah masuknya waktu shalat. Seseorang tidak dapat melaksanakan ibadah shalat tertentu, kalau memang bukan pada waktu yang telah ditentukan untuk itu.
Sebagai contoh, ibadah shalat fardhu Isya tidak dapat dilaksanakan, kalau waktu untuk shalat fardhu Isya itu belum tiba, atau shalat fardhu Isya itu tidak dapat dilakukan pada titik waktu shalat yang lain. Demikian juga dengan shalat fardhu lainnya, yang masing-masing memang harus dilaksanakan tepat pada waktunya.
Artikel terkait: Hubungan Jumlah Rakaat Shalat Fardhu dengan Al-Qur'an
Waktu juga akan berkaitan dengan lamanya ibadah shalat itu dilaksanakan. Setelah tiba waktunya shalat, selanjutnya orang akan membersihkan diri (berwudhu) sesuai dengan aturan wudhu yang telah ditetapkan syariah. Setelah berwudhu, dicarilah tempat atau ruang agar ibadah shalat dapat dilaksanakan. Sesudah itu dimulailah ibadah shalat yang di dalamnya terdapat gerakan yang teratur, mulai dari gerak berdiri, gerak ruku', sujud, hingga duduk pada tahiyat terakhir sewaktu akan mengakhiri ibadah shalat.
Inilah sebenarnya bentuk dari Waktu, Ruang dan Gerak yang bersifat mikro dalam ibadah shalat. Sedangkan sebagai bagian dari waktu, ruang dan gerak yang bersifat makro di jagad raya, yang merupakan sebuah pesan dari ritual peribadatan yang bersifat universal, dan tidak pernah kita jumpai pada ajaran agama lain (selain agama Islam).
Kenyataan ini mengajarkan kepada kita bahwa sesungguhnya gerak dari peribadatan, begitu juga gerak kehidupan manusia sehari-hari, seharusnya selaras dengan gerak alam semesta yang tak terhingga luasnya, sebagai bentuk peribadatan dan pengabdian dari seluruh umat manusia kepada Yang Maha Kuasa.
Apa yang selama ini dipahami bahwa jagad raya terdiri dari ruang, waktu dan gerak sebagaimana dikatakan oleh para ahli, sesungguhnya tidak berbeda dengan waktu, ruang dan gerak yang terdapat dalam ibadah shalat, hanya saja skalanya lebih kecil. Hakikat adanya waktu, ruang dan gerak ini secara jelas diterangkan di dalam Alqur'an, yakni terdapat dalam QS. Al-Hadiid, 57: ayat 1, 2 dan 3 yang berbunyi:
Semua yang berada di langit dan yang berada di bumi bertasbih kepada Allah (menyatakan kebesaran Allah). Dan Dia-lah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (1). Kepunyaan-Nya lah kerajaan langit dan bumi. Dia menghidupkan dan mematikan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu (2). Dia-lah yang Awal dan yang Akhir yang Zhahir dan yang Bathin, dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu (3). QS. Al-Hadiid, 57: ayat 1, 2 dan 3.
Ayat-ayat pada surah di atas berbicara tentang kekuasaan Allah sebagai Sang Pencipta dan Yang Maha Kuasa, di mana pada ayat ke 3 di atas secara tersirat dibicarakan tentang adanya Waktu, Ruang dan Gerak pada alam yang diciptakan-Nya ini.
Untuk lebih jelasnya, mari kita simak ulasan mengenai ketiga hal tersebut berikut ini.
1) Waktu
Segala yang diciptakan-Nya di alam ini, yang tentu saja ada awal dan ada pula akhirnya, juga jarak atau lamanya rentang yang berjalan pada ruang, mulai dari awal sampai akhir -sehubungan dengan gerak dari segala sesuatu yang diciptakan-Nya-, itulah yang dimaksudkan di sini sebagai waktu.2) Ruang
Kata zhaahir pada ayat di atas mengungkapkan tentang segala sesuatu ciptaan-Nya atau materi yang dapat ditangkap oleh pandangan alias dapat dilihat secara kasat mata. Sedangkan kata baathin merupakan ungkapan dari segala sesuatu yang tidak dapat ditangkap atau dilihat oleh pandangan mata, seperti udara, aroma dan bau. Kesemua ciptaan-Nya itu baik yang zhaahir maupun yang baathin, ada di dalam ruang.3) Gerak
Ketika ayat di atas berbicara bahwa: "Dia Maha Mengetahui segala sesuatu", tentunya hal ini merupakan ungkapan terhadap adanya gerak. Yakni, gerak dari seluruh ciptaan-Nya yang ada di langit dan di bumi, di seluruh jagad raya yang ada di dalam kekuasaan-Nya. Seluruh ciptaan itu pada posisinya masing-masing bergerak dan bertasbih menjalankan fungsi serta perannya.Sebagaimana juga harus disadari bahwa manusia diciptakan dan ditempatkan di muka bumi adalah untuk bergerak dalam arti mengabdi dan beribadah kepada-Nya. Sebuah gerak yang merupakan tanda dari kehidupan yang bersifat dinamis.
Adanya waktu, ruang dan gerak, sepertinya bukan hanya berlaku pada alam nyata atau dimensi kehidupan manusia saja, tapi juga berlaku pada alam lain yang bersifat ghaib. Ini seperti yang terlihat dari adanya kegiatan para malaikat sebagaimana yang disebutkan dalam Alqur'an, QS. Al-Ma'aarij, 70: ayat ke 4 yang berbunyi:
Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan dalam sehari yang kadarnya lima puluh ribu tahun (4). QS. Al-Ma'aarij, 70: ayat ke 4
Dari keterangan ayat di atas, jelaslah bahwa adanya ketentuan waktu yang juga berlaku di alam ghaib itu dapat dilihat dari lamanya para malaikat ketika mereka naik untuk menghadap Tuhan. Di situ juga ada aspek ruang yang ditunjukkan oleh perjalanan mereka dari satu titik tertentu ke titik lainnya. Sedangkan, mengenai adanya gerak dicerminkan oleh kegiatan mereka ketika naik.
Adanya waktu, ruang dan waktu, atau biasa juga disebut sebagai ruang waktu serta gerak di dalam ibadah shalat, seharusnya dapat memberi kesadaran tertentu kepada manusia. Yakni, kesadaran terhadap semesta, kesadaran tentang kehadiran dirinya sebagai makhluk berakal di jagad raya; kesadaran tentang posisi, fungsi serta peran yang harus dijalankannya pada kehidupan ini sebagai seorang khalifah atau sebagai makhluk yang diciptakan untuk mengabdi kepada-Nya di muka bumi.
Jika dibuatkan skema, maka keterangan mengenai hal tersebut bisa digambarkan sebagaimana berikut ini:
Di antara bentuk-bentuk ibadah lainnya, ibadah shalat merupakan gambarang paling nyata tentang konsep penyerahan diri dari seorang manusia kepada Sang Pencipta, yang mana merupakan sebuah proses penyerahan diri yang tidak datang dengan begitu saja, tapi harus melalui tahapan-tahapan tertentu.
Ini mengingat bahwa pesan untuk melaksanakan ibadah shalat tersebut tidak hanya berhenti sebatas hal-hal yang bersifat ritual saja yang notabene dapat dilakukan hanya dalam hitungan menit. Akan tetapi, lebih dari itu, makna-makna di balik shalat itu mesti diimplementasikan atau diterapkan ke dalam seluruh gerak nyata kehidupan manusia di muka bumi.
Secara sederhana, tahapan-tahapan itu dapat kita bagi menjadi tiga bagian, yaitu:
Pengenalan diri.
Adanya jagad raya, waktu, ruang dan gerak menuntut manusia untuk melakukan proses pengenalan terhadap diri sendiri sehubungan dengan keberadaannya di alam semesta ini. Ini dapat dilakukan dengan pengenalan terhadap lingkungan terdekat seperti di dalam sebuah keluarga. Dalam konteks ini, manusia dituntut untuk mengenali dan mempertanyakan posisi kita di dalamnya, apakah keberadaannya di situ sebagai seorang bapak atau kepada rumah tangga, sebagai seorang ibu atau isteri, atau sebagai seorang anak.Dengan mengenali posisi itu, maka akan disadari adanya fungsi serta peran masing-masing yang harus dijalankan di dalam kehidupan ini sesuai dengan kehendak-Nya. Itulah sebabnya orang bijak mengatakan: "Siapa mengenal dirinya, dua akan mengenal Tuhannya".
Kesadaran diri.
Setelah menyadari posisi diri masing-masing di dalam suatu lingkungan tertentu, maka langkah selanjutnya adalah melaksanakan peran-peran yang diamanatkan sesuai dengan posisi dan fungsinya sendiri-sendiri. Itulah yang dimaksud sebagai kesadaran diri.Sesudah itu, pada tahapan selanjutnya ialah bagi masing-masing orang akan menemukan bahwa waktu, ruang dan gerak tersebut ternyata selalu bergerak secara dinamis. Begitu juga dengan peran dan fungsinya masing-masing, bergantung pada di mana diri seseorang berada, maka fungsi dan peran yang dimainkannya juga akan tampak dinamis dan berbeda-beda dari ruang dan waktu yang satu ke ruang dan waktu yang lainnya.
Misalnya di tempat kerja, seseorang bisa saja berperan sebagai pimpinan atau pegawai biasa. Di pasar, bisa sebagai penjual atau pembeli. Begitu pun seterusnya. Yang terpenting adalah di mana pun kita berada, maka jalankanlah fungsi serta peran masing-masing dengan baik dan benar. Itulah bentuk kesadaran seseorang terhadap waktu, ruang dan gerak, dengan memainkan peran sebagai seorang khalifah di muka bumi, sesuai dengan amanat-Nya.
Penyerahan diri.
Seorang hamba dengan kesadaran yang mendalam tentang dirinya sebagai makhluk berakal yang diciptakan untuk mengabdi kepada-Nya, cenderung akan berserah diri kepada-Nya dengan melaksanakan semua perintah-Nya dan meninggalkan semua larangan-Nya, melakukan amal kebajikan terhadap sesama, dan memelihara alam yang terdapat di sekitarnya. Semua itu akan menjadi suatu kebutuhan baginya, bukan lagi sebagai kewajiban.Karenanya, dalam ajaran Islam, orang yang tidak mempunyai kesadaran tentang waktu, ruang dan gerak bagaikan orang pikun, orang gila, orang mabuk, dan anak kecil yang belum mempunyai kesadaran secara utuh tentang posisi, fungsi dan perannya dalam kehidupan ini. Mereka itu tidak diwajibkan melaksanakan ibadah shalat, maupun peribadatan yang lainnya.
0 komentar:
Post a Comment
Bismillaah ..
Anda boleh meninggalkan komentar di blog ini dengan syarat :
1. Tidak mengandung SARA
2. Komentar SPAM dan JUNK akan dihapus
3. Tidak diperbolehkan menyertakan link aktif
4. Berkomentar dengan format (Name/URL)
Terima Kasih.